Skip to main content

Merasakan layanan ambulance di Jepang

Ramadhan 1440H; Mei 2019

Baru saja kami berbuka puasa keluarga, ketika tiba-tiba D-kun terbatuk-batuk sambil mengeluarkan darah dari hidung dengan deras. D-kun sudah 4 hari demam tinggi dan batuk, menyebabkan ia kadang sulit bernapas dan sesak dada karena batuk yang parah. Kami kira hanya mimisan sedikit, namun ternyata deras sekali, ditambah panas tinggi menyebabkan kami sedikit panik. Darah mimisan pun ada yang masuk ke mulut.

Spontan, saya telpon 119 sebagai nomor rescue di Jepang yang memiliki 2 saluran, ambulance (kyukyusha 救急車) atau fire fighter (shobosha 消防車). Tidak sampai 5 menit, suara ambulance sudah terdengar meraung-raung menuju apato (apartment) kami. Datanglah 3 orang petugas ambulance, semuanya pria berbadan besar berseragam "Sendai fire rescue team". Dengan sigap mereka memeriksa D-kun, menggendongnya, dan membawanya ke ambulance. Setelah pemeriksaan di dalam ambulance, bergegaslah kami menuju emergency and critical care center di Sendai City Hospital, Asutonagamachi.

Tak lupa, sepanjang koridor dan halaman apato, kami hanya bisa mengucap permohonan maaf (sumimasen すみません) kepada tetangga karena sudah membuat kehebohan dan mengganggu ketenangan istirahat mereka. Tentunya tetangga heboh dan berhamburan ke luar kamar menyaksikan hiruk pikuknya keluarga kami dan petugas ambulance.

Di dalam ambulance, saya dan R-chan menemani D-kun dengan bermodalkan dompet dan HP. Lupa kalau baru makan ta’jil, belum makan malam, termasuk bawa minum. Bahkan saya lupa kalau sedang hamil dan perlu makan yang cukup setelah berpuasa. Semua karena hectic dan petugas ambulance sangat cepat sekali treatment nya. Abi membereskan rumah karena tadi sempat hectic, dan mempersiapkan bekal serta pakaian sebagai antisipasi kalau harus diopname. Setelah semua beres, Abi menyusul ke RS dengan kereta. 

Perjalanan menuju byouin (Rumah Sakit) terasa sangat cepat. Di Jepang, saat kendaraan bersirine lewat, maka segenap kendaraan lain baik pribadi maupun umum akan segera memberikan jalan untuk kendaraan bersirine tersebut. Lampu lalu lintas tidak berlaku untuk kendaraan bersirine karena kendaraan tersebut akan terus jalan tanpa henti apapun lampunya. Bahkan pejalan kaki yang menjadi prioritas utama di jalan raya pun harus berhenti bila lampu lalu lintas menunjukkan hijau untuk mereka. 

Namun tidak hanya cepat secara fisik, kami pun merasa cepat sampai secara feeling karena selama di perjalanan kami “disibukkan” oleh sigapnya petugas medis mengurusi D-kun. Selain memastikan bahwa D-kun aman dalam perjalanan dan kondisinya baik, petugas keamanan juga melakukan komunikasi sejak awal sebelum berangkat hingga selama dalam perjalanan. Komunikasi pertama adalah dengan kami, keluarganya. Petugas menanyakan data diri, memeriksa buku riwayat obat pasien (okusuri techo お薬手帳), alergi, dan lainnya. Setelah itu, petugas menghubungi pihak RS untuk memberitahukan tentang pasien yang akan datang. Petugas juga sibuk menulis berbagai dokumen yang dibutuhkan sebagai surat pengantar ke UGD. 

Sesampainya kami di Sendai City Hospital, petugas ambulance segera melakukan hand-over pasien dengan dokter UGD. Kegiatannya mirip dengan yang dilihat di serial ER (Emergency Room), namun tidak seheboh itu. Yang membuat saya terkesima, apalagi kalau bukan etika Nihonjin dalam bekerja. Sigap, hormat, saling menghargai profesi, teliti, detail. Setelah pasien selesai di hand-over, petugas ambulance mohon pamit. Tak lupa kami ucapkan terima kasih. 

Singkat kata, D-kun alhamdulillah tidak perlu diopname karena kondisinya stabil. Kami lanjut pulang dengan kereta dan taksi. Apato telah tenang dan terkondisi. Lega rasanya melewati malam yang heboh ini.

Berapa yang kami harus bayar? Untuk ambulance, 0¥. Untuk biaya UGD dancobat-obatan cukup 500¥ atau sekitar Rp65.000. Mengapa semurah itu? Ini karena kami selain menjadi peserta national health insurance, juga mendapat kartu kesejahteraan anak (kartu pink) untuk pelayanan medis. Dengan bermodalkan kartu ini, kami cukup membayar maksimal 500¥ untuk pengobatan yang sama dalam 1 bulan untuk tiap anak. Semisal dalam sebulan si anak ke dokter gigi 2x, maka kami cukup membayar 500¥ totalnya. Bahkan kadang kalau difikir2 tidak bayar sama sekali. Saya juga bingung kenapa.

Demikian besar rasa terima kasih kami kepada perangkat kesehatan dan sistem pelayanan oleh pemerintah di Sendai Jepang. Mereka sangat cepat dan sigap mendatangi dan melayani kami - keluarga foreigners dan termasuk keluarga miskin (students di Jepang yang bebas pajak termasuk kategori keluarga miskin). Mempergunakan ambulance di Jepang memang sangatlah meringankan beban masyarakat di kala kondisi darurat. Bila menggunakan kendaraan pribadi atau taksi, maka tidak bisa mendapat prioritas di jalan raya. Not to mention mahalnya harga taxi di Jp dan mahalnya biaya parkir kendaraan pribadi.

Yang kami rasakan, bahwa saat kami kesusahan seperti ini, tidak hanya kawan kerabat yang membantu kami. Tapi juga pemerintah dan segenap perangkat nya hadir bersama kami. Kami tidak ditinggalkan berjuang sendirian. Ada pemerintah yang berusaha memastikan kesejahteraan rakyatnya terjaga. Ada sistem yang berjalan dengan baik untuk memastikan kelancaran layanan ini.

Tak salah bila anak-anak di Jepang memiliki trio pahlawan riil (bukan fiksi) bernama polisi, petugas ambulance, dan pemadam kebakaran. Ketiga jenis profesi ini digambarkan sebagai orang-orang terbaik, cepat, tangkas, baik hati, helpful, dan solutif. Bahkan ketiga pahlawan ini sering dijadikan tema anime, mainan anak, ataupun hadir di berbagai festival (matsuri). 

Terakhir, itu semua didukung oleh masyarakat yang menghargai profesi mereka. Masyarakat yang tidak iseng menelepon nomor darurat. Juga masyarakat yang mengerti prioritas dalam berkendara di jalan raya. 

Semoga cerita ini bermanfaat. Pastinya D-kun selalu ingat pengalamannya naik ambulance di Jp. Setelah kejadian ini, koleksi tomica ambulance nya pun bertambah, tidak hanya pemadam kebakaran melulu. Yang kuat ya Nak!!

Comments

Popular posts from this blog

Menuju kelahiran anak riset ke-tiga

Alhamdulillaah wa syukurillaah, Allah SWT berikan kekuatan bagi saya untuk menulis dan menyelesaikan anak riset ke-tiga saya (PhD dissertation). Banyak yang bertanya pada saya, bagaimana saya bisa menyelesaikan "anak riset ketiga" sambil mengandung "anak manusia ketiga". Saya sebetulnya juga bingung kalau ditanya demikian. Tapi baiklah, saya mencoba mengingat kembali perjalanan itu. Semoga bermanfaat dan menjadi penyemangat untuk saya pribadi dalam menjalani lembar kehidupan berikutnya. Juga semoga menjadi penyemangat bagi semua yang membacanya, terutama para student mama. Ganbarimashou!! Kimochi?? Saya tidak mengerti mengapa Allah SWT berikan rezeki kehamilan ini berbarengan dengan masa penyusunan disertasi saya. Dahulu saya pernah berdoa, "Ya Allaah, aku ingin dikaruniakan anak ketiga saat masih di Jepang. Mohon berikan di waktu yang tepat bagiku untuk memilikinya." Dan saat Allah SWT memberikan karunia kehamilan mulai bulan Januari 2019, maka s
Perpisahan dengan Sensei-tachi Our children's teachers (Kazumasa-sensei, Emiko-sensei, Akiko-sensei, Shutaro-sensei) Sendai, 19 Desember 2019 大切な小学校. 本当にありがとうございました . . Hari ini perpisahan sekolah R&D. Tentunya sangat mengharukan. . . Hari ini, semua teman seangkatan R-chan memakai baju abu-abu. Shutaro-sensei (international teacher) dan Akiko-sensei (classroom teacher) pun juga memakai baju abu-abu. Ternyata, R-chan request demikian. Teman-teman R-chan pun memberi banyak hadiah, semua dibuat sendiri oleh sensei & kawan-kawan. . . Kelas D-kun pun tak kalah mengharukan. Bahkan teman-temannya menangis, membuat saya pun menangis. Ada 1 kawan D-kun hari ini sakit dan tidak masuk sekolah. Jam 16, ia datang bersama ibunya hanya untuk say goodbye dengan D-kun. 😭😭. Emiko-sensei (classroom teacher) pun terharu. . Bagian ini paling terharu sih! Ada school principal juga yang melepas kami pergi. Seperti di dorama 😭😭😭 Kami dilepas tidak hanya oleh classroo